SENANGSENANG.ID - Memasuki tahun 2023, gambaran prospek ekonomi global dibayangi oleh kondisi resesi dan hiperinflasi sebagai dampak situasi geopolitik dan geoekonomi internasional.
Kendati demikian, kondisi perekonomian makro di awal kuartal pertama 2023 terlihat menunjukan outlook yang lebih optimis. Hal ini ditunjuKkan dengan performa pasar saham AS dan Tiongkok yang bergerak ke tren yang jauh lebih positif.
Paska pembukaan kembali akses ekonomi di Tiongkok, permintaan investor global terhadap saham-saham pasar Tiongkok semakin tinggi.
Riset Financial Times dan Bloomberg menunjukkan peningkatan dua kali lipat dari pembelian ekuitas Tiongkok, dibandingkan angka tahun 2019 atau masa sebelum pandemi.
Selain itu, white-collar recession diprediksi akan menjadi fenomena ekonomi di AS, dimana sektor industri yang sebelumnya mengalami disrupsi dan pertumbuhan signifikan di masa pandemi dua tahun lalu mulai melakukan adaptasi dalam bentuk efisiensi sumber daya manusia.
Hal ini ditunjukan dari layoff besar-besaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan global seperti Amazon, Meta dan Microsoft.
Head of Corporate Communications Pluang, Kartika Dewi memaparkan perbandingan kondisi krisis ekonomi di awal masa pandemi dan yang terjadi di tahun 2023 ini.
“Apabila dibandingkan dengan awal pandemi 2020, industri yang paling terdampak krisis ekonomi adalah sektor-sektor yang memiliki proporsi pekerja berupah rendah yang dominan seperti MEDIA STORY pariwisata, ritel dan hiburan," ujar Kartika.
Di sisi lain, lanjut Kartika, para pekerja kerah putih malah semakin diminati pasar tenaga kerja karena adanya kebutuhan perusahaan untuk membuat berbagai jenis proyek baru sebagai upaya adaptasi bisnis.
"Sekarang, ekonomi sedang berusaha pulih ke kondisi pra-pandemi dan sektor-sektor industri yang sebelumnya meraup kesempatan harus mendefinisikan kembali produktivitas untuk mengambil keputusan bisnis yang paling cost-effective,” jelas Kartika.
Publik memandang bahwa strategi layoff perusahaan sektor tech ini bukan menjadi sinyal negatif akan perkembangan perusahaan, tetapi justru strategi untuk mengatur kembali profitabilitasnya.
Sedangkan untuk pasar obligasi AS, Inverted yield curve menunjukan kondisi investor yang masih kurang percaya diri dengan prospek ekonomi jangka panjang. Kartika melanjutkan bahwa investor tetap harus berjaga-jaga akan kemungkinan resesi sepanjang tahun 2023.
Artikel Terkait
Keren! Dua Ribu Tiket F1 Powerboat di Danau Toba Ludes Terjual dalam Waktu 23 Menit
Mobil Tertabrak Singa Apa Bisa Klaim Asuransi ya? Begini Penjelasannya
Wakil Presiden Ma'ruf Amin Ingatkan Keseimbangan Tradisi dengan Inovasi Pendidikan
Sambut Ramadan, NET TV Gandeng Raffi Ahmad dan Nagita Slavina Garap 'Saurans di NET'