SENANGSENANG.ID - Masyarakat Jawa masih kental dengan tradisi Nyadran yang biasa dilaksanakan pada bulan Ruwah dalam perhitungan kalender Sultan Agungan.
"Secara umum orang Jawa menyebutnya ruwahan yang juga identik dengan tradisi adat Nyadran," ungkap Ketua Panitia Nyadran Agung Metaraman 2024, Mujiono S.Sn yang akrab disapa Muji Cino, Minggu 3 Maret 2024.
Menurut Muji Cino, adat tradisi nyadran merupakan manifestasi dari semangat gotong royong yang masih demikian kental dalam masyarakat Jawa.
Ketika mengawali tradisi Nyadran secara kelompok masyarakat melaksanakan besik atau kerja bakti gotong royong dengan membersihkan makam para leluhur.
Setelah itu mereka kemudian menggelar adat tradisi Nyadran dengan kenduri bersama untuk memuliakan.
Dijelaskan Muji Cino, Nyadran berasal dari tradisi pra Islam yang dikenal dengan tradisi Sraddha atau memuliakan leluhur setelah pengaruh Islam kemudian berkembang menjadi Nyadran dengan doa doa sesuai denga agama Islam.
Baca Juga: Ratusan Perupa Perempuan Indonesia Pameran Besar 'Manifestasi' di Pendhapa Art Space Jogja
"Tradisi adat Nyadran sendiri merupakan hasil dari akulturasi budaya yang berjalan secara damai dan masyarakat Jawa menerima tradisi ini menjadi bagian dari budaya adiluhung yang terus dilestarikan hingga saat ini," urai Muji Cino.
Pelaksanaan Nyadran Agung Mentaraman 2024 yang difasilitasi Kapanowon Imogiri mendapat dukungan dari 8 Desa yang ada seperti Wukirsari, Imogiri, Karangtalun, Kebonagung, Karangtengah, Girirejo, Sriharjo, dan Selapamioro dengan menampilkan berbagai seni tradisi mocopatan, larasmadya dan atraksi seni tradisi lainnya.
Kegiatan dilanjutkan dengan ziarah ke makam leluhur untuk melakukan tradisi Nyakar atau tabur bunga dan doa diantaranya ke makam Sultan Agung dan para raja dinasti Mataram Islam di Pajimatan Imogiri.**
Liputan: Teguh Priyono