Mengenang Jejak Abadi Tiga Tokoh Seni Indonesia di Konser Maestro, Yogyakarta Gamelan Festival ke-30

photo author
- Jumat, 25 Juli 2025 | 11:54 WIB
Komunitas Gayam 16 menyuguhkan karya Sapto Raharjo di Konser Maestro YGF 2025. (Dok. YGF30)
Komunitas Gayam 16 menyuguhkan karya Sapto Raharjo di Konser Maestro YGF 2025. (Dok. YGF30)

SENANGSNANG.ID - Konser Maestro yang hadir di gelaran Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) 2025 menjadi sebuah momen penuh makna.

Bagaiana tidak, pertunjukan istimewa ini dihadirkan untuk mengenang dan merayakan warisan seni dari tiga tokoh legendaris Indonesia: Sapto Raharjo, Harry Roesli, dan Djaduk Ferianto.

Konser Maestro bukan sekadar penampilan musik, melainkan ruang penghormatan dan refleksi atas dedikasi ketiganya dalam merawat, menghidupkan, dan mentransformasikan gamelan sebagai medium ekspresi yang merdeka, lintas zaman, dan lintas batas.

Baca Juga: Javafon Lucurkan Plafon PVC Ultra Series, Jawab Kebutuhan Estetika Hunian Modern Bertema Nature Reinspired

Sapto Raharjo, sosok pionir dalam eksplorasi gamelan kontemporer, dihadirkan kembali melalui karya-karyanya yang dibawakan oleh Komunitas Gayam 16, kelompok karawitan yang turut ia dirikan dan bina.

Dengan semangat eksperimentatif dan akar tradisi yang kuat, penampilan ini menjadi penegasan bahwa warisan beliau terus hidup dalam denyut gamelan hari ini.

Komunitas Gayam 16 membawakan 7 karya terbaiknya. Tujuh atau pitu dalam bahasa jawa secara kultural angka ini diasosiasikan dengan pitulungan (pertolongan), pitutur (nasihat), dn pituwas (hasil baik)

Rumah Musik Harry Roesli mempersembahkan karya-karya sang komponis legendaris yaitu Harry Roesli yang dikenal melalui suara lantangnya dalam kebebasan berekspresi.
Rumah Musik Harry Roesli mempersembahkan karya-karya sang komponis legendaris yaitu Harry Roesli yang dikenal melalui suara lantangnya dalam kebebasan berekspresi. (Dok. YGF30)

Sementara itu, Rumah Musik Harry Roesli mempersembahkan karya-karya sang komponis legendaris yaitu Harry Roesli yang dikenal melalui suara lantangnya dalam kebebasan berekspresi.

Penampilan mereka ditutup dengan aksi teatrikal yang menyentuh: sebuah mikrofon kosong yang disinari cahaya, lalu terdengar rekaman suara almarhum menyanyikan lagu “Jangan Menangis Indonesia”.

Sebuah simbol kehadiran yang tak lagi fisik, namun tetap menggema dalam ingatan kolektif bangsa.

Baca Juga: Kecam Aksi Serangan Kamboja, PM Thailand yang Tengah Diskors Beri Dukungan Penuh pada Pemerintah dan Militer

Karya Djaduk Ferianto kembali bernyawa di panggung lewat penampilan KuaEtnika, kelompok musik yang menjadi rumah sekaligus ruang eksplorasi bagi Djaduk semasa hidupnya.

Lebih dari sekadar pertunjukan, ini merupakan penggalian atas musik etnik dengan pendekatan modern.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Agoes Jumianto

Tags

Artikel Terkait

Rekomendasi

Terkini

X