SENANGSENANG.ID - Sejarah konflik tambang Tumpangpitu menunjukkan bahwa penolakan warga bukanlah hal baru, melainkan akumulasi panjang dari izin eksplorasi sejak 1990-an yang menimbulkan ketegangan antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat.
Berikut sederet fakta sejarah akar konflik tambang Tumpangpitu yang disarikan dari berbagai sumber:
- Awal izin eksplorasi (1995): PT Hakman Metalindo memperoleh Kuasa Pertambangan seluas 62.586 hektar, mencakup kawasan konservasi penting termasuk Taman Nasional Meru Betiri.
Baca Juga: ARTJOG 2026: Seni Itu Panjang, Generasi Baru Menyapa
- Pergantian perusahaan: Setelah beberapa kali berpindah tangan, izin akhirnya dikelola oleh PT Bumi Suksesindo (BSI). Perusahaan ini mulai melakukan eksploitasi emas dalam skala besar di Gunung Tumpangpitu.
- Dampak lingkungan: Aktivitas tambang menimbulkan kerusakan hutan, pencemaran air, dan ancaman longsor. Hal ini memicu stigma negatif di masyarakat yang merasa kehidupan mereka terancam.
- Konflik sosial: Penolakan warga muncul karena tambang dianggap tidak berpihak pada kelestarian alam. Ketegangan terjadi antara masyarakat, perusahaan, dan pemerintah daerah yang mendukung investasi.
Dimensi Sosial dan Politik
- Gerakan rakyat: Penolakan tambang melahirkan berbagai aliansi, seperti Gerakan Rakyat Selamatkan Tumpang Pitu (GRSTP), yang konsisten menggelar aksi sejak awal 2000-an.
- Narasi pembangunan vs kelestarian: Pemerintah daerah dan pusat sering menekankan tambang sebagai motor ekonomi, sementara warga menilai keuntungan hanya dinikmati segelintir pihak.
- Aliansi nasional: Dukungan datang dari organisasi lingkungan seperti WALHI, yang menyoroti ancaman ekologis dan hak hidup masyarakat sekitar.