SENANGSENANG.ID -Lima terdakwa atas nama AKP Has Darmawan (Danki III Brimob Polda Jawa Timur), Kompol Wahyu Setyo Pranoto (Kabag Ops Polres Malang), AKP Bambang Sidik Achmadi (Kasat Samapta Polres Malang), Abdul Haris (Ketua Panpel Pertandingan Arema FC), dan Suko Sutrisno (Security Officer), telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Surabaya, pada Kamis 16 Maret 2023.
Namun vonis yang dijatuhkan oleh PN Surabaya tersebut mendapat kecaman keras dari Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, Lokataru, IM 57+ Institute dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
Berdasarkan pemantauan yang Koalisi Masyarakat Sipil lakukan, kelima terdakwa tersebut dijatuhi vonis hukuman ringan jauh dari harapan keluarga korban.
Baca Juga: Catat! 20 Perusahaan Singapura Tertarik Berinvestasi di IKN Nusantara
AKP Has Darmawan misalnya divonis 1 tahun 6 bulan penjara. Kemudian Kompol Wahyu Setyo Pranoto dan AKP Bambang Sidik Achmadi divonis bebas. Selanjutnya Abdul Haris divonis 1 tahun 6 bulan, dan Suko Sutrisno divonis hanya 1 tahun penjara.
"Kami menilai bahwa vonis tersebut jauh dari harapan keluarga korban yang menginginkan para terdakwa dapat diputus pidana seberat-beratnya juga seadil-adilnya serta dapat mengungkap aktor high level dibalik tragedi ini," ujar Daniel Siagian, dari LBH Pos Malang.
Sebetulnya sejak awal, papar Daniel, pihaknya telah mencurigai proses hukum para terdakwa ini yang tampak tidak secara sungguh-sungguh mengungkap kasusnya.
"Kami menduga proses hukum ini dirancang untuk gagal dalam mengungkap kebenaran (intended to fail) serta melindungi pelaku kejahatan dalam Tragedi Kanjuruhan. Selain itu kami juga turut melihat bahwa proses persidangan tersebut merupakan bagian dari proses peradilan yang sesat (malicious trial process). Dugaan kami turut didorong dengan berbagai keganjilan selama persidangan yang kami temukan," ujarnya.
Menurut Daniel, keganjilan-keganjilan yang dia maksud antara lain aktor yang diproses secara hukum hanyalah aktor lapangan. Kemudian terbatasnya akses terhadap pengunjung atau pemantau persidangan di awal-awal sidang.
Selanjutnya, terdakwa sempat hanya dihadirkan secara daring, diterimanya anggota Polri sebagai penasehat hukum dalam persidangan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan,
Selebihnya, Hakim dan Jaksa Penuntut Umum cenderung pasif dalam menggali kebenaran materil dengan minimnya keterlibatan saksi korban dan keluarga korban sebagai saksi dalam persidangan.
"Komposisi saksi didominasi oleh aparat kepolisian, intimidasi anggota Polri dengan membuat kegaduhan dalam proses persidangan. Adanya pengaburan fakta penembakan gas air mata kebagian tribun penonton, hingga peristiwa kekerasan dan penderitaan suporter baik di dalam maupun di luar stadion yang tidak diungkap secara utuh," jelas Daniel mewakili rekan-rekannya.
Daniel menilai, proses persidangan ini telah menunjukan bahwa potret penegakan hukum di Indonesia tidak benar-benar berpihak kepada korban dan keluarga korban kejahatan.