Dalam UU Reformasi Gaya Kerja di Jepang itu memberikan kebijakan bagi pengusaha agar memaksa karyawannya mengambil cuti, dengan 50 persen penggunaan cuti berbayar.
Baca Juga: Ketulusan Tanpa Akhir Indosat di Hari Pelanggan Nasional, Berlakukan Bebas Telepon 24 Jam Sepuasnya
Namun, celah lain dalam undang-undang yang memungkinkan kerja berlebihan dibiarkan berlanjut.
Untuk pertama kalinya, pembatasan diberlakukan pada lembur kerja, namun yang ditetapkan sangat tinggi, yaitu 80 jam sebulan.
Artinya, pembatasan itu berlaku untuk yang perusahaan yang memberlakukan jam kerja di atas delapan jam sehari, dan lembur selama 60 jam seminggu.
Baca Juga: Gitaris Ikonik Djent Metal Indonesia, Fritz Faraday Jadi Brand Ambassador Blackstar Amplification
Kebijakan Fleksibilitas Kerja di Indonesia
Berdasarkan penelitian Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengungkapkan bahwa arah dari UU Cipta Kerja ini menuju ke fleksibilitas kerja yang ditawarkan pada turunan UU Cipta Kerja.
Tepatnya, fleksibilitas kerja itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
"Waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam dalam sehari dan 40 jam dalam satu minggu untuk 6 hari kerja dalam satu minggu.
Atau 8 jam dalam sehari dan 40 jam dalam satu minggu atau Waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah," sebagaimana yang tercantum dalam PP Nomor 35 Tahun 2021 Pasal 1 Ayat 7.
Fleksibilitas kerja tersebut dinilai tidak memberikan perlindungan bagi pekerja, dan membuat pekerja terjebak dalam pola kerja yang eksploitatif.
Selain itu, penelitian ini membahas terkait sosialisasi Peraturan Pemerintah mengenai Waktu kerja dan istirahat karyawan dalam UU No. 13 Tahun 2013.