Namun, tren ini menimbulkan pertanyaan etis. Lari pada dasarnya adalah olahraga yang menekankan pencapaian pribadi dan kerja keras.
Baca Juga: Rekomendasi Lipstik Merah Merona dan Harganya, Cocok Dipakai di Bulan Kemerdekaan Beb
Meminta orang lain berlari demi kita berarti memalsukan esensi dari olahraga itu sendiri.
Praktik ini juga berpotensi merusak keadilan kompetisi di Strava. Papan peringkat dan rekor pribadi menjadi tidak lagi mencerminkan kemampuan asli, sehingga bisa mengecilkan semangat para pelari yang berusaha dengan jujur.
Fenomena Nyata di Indonesia
Baca Juga: William Shakespeare, Penyair Jenius 4 Abad Lalu yang Karyanya Masih Hidup hingga Hari Ini
Salah satu contoh nyata datang dari Indonesia. Seorang remaja 17 tahun berinisial 'S' yang disebut memanfaatkan tren ini untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
"Di Strava, remaja dengan akun bernama @Satzzyy mematok tarif sekitar Rp10.000 per kilometer untuk kecepatan 4:00 menit/km, dan Rp5.000 per kilometer untuk kecepatan 8:00 menit/km," demikian pernyataan dari The Running Week dalam artikel yang sama.
Selain itu, terdapat penghasilan dari aktivitas remaja asal Indonesia tersebut saat menjadi joki strava.
"Pekerjaan terbesarnya sejauh ini memberinya penghasilan sekitar Rp100.000, atau lebih dari 5 persen upah minimum bulanan di Indonesia," sambungnya.
Walau saat ini populer di Indonesia, tren joki strava sejatinya memang telah menyebar secara global.
Sama seperti tren di medsos lainnya, dorongan untuk mendapatkan validasi dan pengakuan bisa membuat fenomena ini berkembang di berbagai negara lainnya.**