“Semalam kami hujan-hujan. Pokoknya di jalan (gunung) itu kami lari-lari saja,” katanya, menggambarkan suasana mencekam di jalur pegunungan.
Baca Juga: Seni Dedok: Tubuh, Kuasa, dan Harapan yang Nyaris Remuk
Ketakutan akan longsor membuat mereka harus bergerak cepat. “Mau bagaimana lagi, nyawa lebih penting,” imbuhnya dengan nada pasrah namun tegar.
Luka Tak Dirasakan Demi Bertahan Hidup
Rasa sakit akibat duri dan tajamnya medan seolah tak terasa. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, mereka rela menanggung risiko.
Baca Juga: Siwo PWI DIY Gelar Rakerda 2025, Susun Program Strategis Menuju Porwanas
“Kadang kena duri kaki kami tidak terasa,” tutupnya.
Potret Sulitnya Distribusi Bantuan
Perjuangan warga Sibolga ini menjadi potret nyata betapa sulitnya distribusi bantuan di wilayah terisolasi. Untuk sepiring nasi, nyawa harus dipertaruhkan.
Baca Juga: King Abdi Sajikan 6.000 Porsi Makan Besar untuk Korban Banjir Aceh Tamiang
Kisah ini sekaligus menegaskan perlunya perhatian serius terhadap akses logistik dan jalur evakuasi di daerah rawan bencana.**
Artikel Terkait
Operasi Tanggap Darurat Banjir Aceh: Pemerintah Maksimalkan Akses Jalan, Logistik, dan Armada Udara
Bantuan Pakaian untuk Korban Banjir Aceh Kebanyakan untuk Wanita, Pengungsi Pria Rela Pakai Daster Biar Tak Kedinginan
Warga Korban Banjir Aceh Beri Semangat untuk Gubernur Muzakir Manaf
Pemulihan Pascabencana Banjir Sumatra Diprediksi Panjang, Akademisi Ingatkan Ancaman Sosial
Pengungsi Banjir di Paya Cukai Langkahan Butuh Pertolongan, Relawan Minta Tim Kesehatan Segera Turun
Kepala BNPB Tinjau Langsung Lokasi Banjir Bandang Aceh Utara, Pastikan Kebutuhan Pengungsi Terpenuhi