“Semalam kami hujan-hujan. Pokoknya di jalan (gunung) itu kami lari-lari saja,” katanya, menggambarkan suasana mencekam di jalur pegunungan.
Baca Juga: Seni Dedok: Tubuh, Kuasa, dan Harapan yang Nyaris Remuk
Ketakutan akan longsor membuat mereka harus bergerak cepat. “Mau bagaimana lagi, nyawa lebih penting,” imbuhnya dengan nada pasrah namun tegar.
Luka Tak Dirasakan Demi Bertahan Hidup
Rasa sakit akibat duri dan tajamnya medan seolah tak terasa. Demi memenuhi kebutuhan keluarga, mereka rela menanggung risiko.
Baca Juga: Siwo PWI DIY Gelar Rakerda 2025, Susun Program Strategis Menuju Porwanas
“Kadang kena duri kaki kami tidak terasa,” tutupnya.
Potret Sulitnya Distribusi Bantuan
Perjuangan warga Sibolga ini menjadi potret nyata betapa sulitnya distribusi bantuan di wilayah terisolasi. Untuk sepiring nasi, nyawa harus dipertaruhkan.
Baca Juga: King Abdi Sajikan 6.000 Porsi Makan Besar untuk Korban Banjir Aceh Tamiang
Kisah ini sekaligus menegaskan perlunya perhatian serius terhadap akses logistik dan jalur evakuasi di daerah rawan bencana.**