“Dengan rumah itu kami bisa berteduh dan belajar. Rumah kami sebelumnya bocor kalau hujan,” kenang Slamet.
Rumah kedua berupa balai serba guna. Menurut Slamet, kehadiran balai pertemuan itu mengubah kehidupan sosial mereka. Sejak itu mereka mengenal istilah rembug kampung.
Pemerintah pun mulai mengakui keberadaan kampung mereka. Slamet ingat, sebelum kemudian kawasan itu dimasukkan ke Kelurahan Kotabaru, Code adalah RT 127A di Kelurahan Terban.
“Dulu kami dilirik pun tidak. Setelah ditata Romo Mangun, kami jadi rebutan,” tukas Slamet mengisahkan perpindahan status administratif kampungnya.
Baca Juga: Tragedi KDRT di Kudus: Suami Pukul Istri dengan Balok Kayu hingga Tewas, Pelaku Serahkan Diri
"Kampung Code masih eksis hingga sekarang. Bukan hanya tertata dan bersih, kampung itu juga terawat," Imbuh Slamet.
Bahkan beberapa rumah di sana dikategorikan sebagai cagar budaya lokal oleh warga setempat. Artinya, bila ada kerusakan, rumah itu hanya boleh diperbaiki dengan tetap mempertahankan keasliannya.
Dari tepi sungai di tengah kota, kisah bergeser jauh ke tepi laut di pantai selatan Gunungkidul. Tepatnya di dusun Grigak Romo Mangun punya karya monumental di sana, yakni proyek pengadaan air minum bagi warga setempat.
Baca Juga: Gempa Bumi Magnitudo 5,8 Guncang Gunungkidul, Tidak Berpotensi Tsunami
Kornelis, mahasiswa USD yang sedang terlibat dalam pendampingan masyarakat Grigak bercerita bagaimana Romo Mangun tinggal di sana selama empat tahun, membangun jembatan ke sumber air, bahkan membangun masjid, yang kesemua lahan empat hektar diberikan kepada masyarakat setempat.
Grigak, dalam novel 'Burung-Burung Manyar' juga digambarkan sebagai fase spiritual Romo Mangun membangun sarang, menyepi, menghadap ke laut yang menyimbolkan ketidakpastian, yang kemudian mengasah keberpihakan kemanusiaannya.
Itulah Romo Mangun. Ia hadir di tengah masyarakat yang kesulitan. Yang terpinggir diusung ke tengah. Yang dahaga dicarikannya air. Yang ditenggelamkan diselamatkan.
Seperti di Kedungombo, kisah Wilhem, “Di Hari Minggu, ketika yang lain memilih menepi untuk pergi ke Gereja, Romo Mangun memutuskan untuk melajukan perahu karetnya ke tengah. Untuk mereka semestinya Gereja hadir, kata Romo Mangun sambil menunjuk perkampungan dan pemakaman yang sudah digenangi air.”
Artikel Terkait
Desain Arsitektur Berjudul Arthadyaksa dari Jakarta Juara Lomba Desain Gedung LPS di Ibu Kota Nusantara
Keindahan Kiswah Ka'bah Kini Ada di Jakarta, Begini Pandangan Buya Yahya dan Arsitek Ridwan Kamil
Selain Kota Pelajar dan Wisata, Jogja Punya Julukan Baru sebagai 'Kota Tukang Parkir', Piye Menurutmu Dab?
Tim Peneliti BRIN Temukan Lukisan Gua Tertua di Dunia Berusia 51.200 Tahun di Leang Karampuang Sulsel
Ini Lukisan Gua Tertua di Dunia Temuan BRIN di Gua Leang Karampuang Sulsel Berusia 51.200 Tahun
Bukan karena Ada Mahkluk Luar Angkasa, tapi karena Hal Ini Kampung di Kota Jogja Ini Diberi Nama 'Kampung UFO'