Pada tahun 1920, saat Gusti Pangeran Harya Puruboyo (nama kecil Sri Sultan HB VIII), sedang menempuh studi di Belanda, ayahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono VII, menyampaikan niat untuk lengser keprabon (turun takhta).
Mendengar hal ini, Residen Jonquire yang menjadi wakil pemerintah Belanda di Yogyakarta, mengusulkan kepada Gubernur Jendral van Limburg Stirum agar upaya pergantian takhta dipercepat.
Akhirnya, GPH Puruboyo pulang ke Yogyakarta dan dinobatkan sebagai sultan baru.
Sedangkan, Sri Sultan Hamengku Buwono VII lereh keprabon dan beristirahat di Pesanggrahan Ambarrukmo.
Acara penganugerahan gelar kehormatan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII berlangsung pada Februari 1921 di Loji Karesidenan yang saat ini menjadi Gedung Agung.
Pada lain hari, semua Abdi Dalem sibuk mempersiapkan berbagai macam acara penghormatan. Dijelaskan terdapat dua belas rombongan berarak-arakan di Alun-Alun Utara.
Malamnya, warga dari berbagai kalangan berkumpul untuk merayakan pengangkatan sultan baru.
Dari situlah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII terinspirasi untuk menciptakan syair pasindhen Srimpi Lobong.
Komposisi Tari
Komposisi gerak Srimpi Lobong sama dengan Srimpi Kagungan Dalem lainnya yang memiliki tiga bagian, yakni kapang-kapang majeng (maju), inti cerita, dan kapang-kapang mundur.
Ciri khas Srimpi Lobong adalah pola lantai yang didominasi erek serta tiadanya pola lantai diagonal seperti srimpi-srimpi lainnya.
Artikel Terkait
Mengenal Bedhaya Gandrung Manis, Tari Klasik Karya Sri Sultan Hamengku Buwono VIII
Lestarikan Caping Kalo Kudus, Nojorono Gandeng Maestro Tari Didik Nini Thowok dan Pianis Ary Sutedja
Tari Klana Alus Dasalengkara Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Kota Jogja
Sultan Hamengku Buwono I Berniat Menyerang Kota Ngastina dan Taklukkan Wilayah Pesisir, Kisah Tersirat Tari Srimpi Pramugari
Disutradarai Whani Darmawan, Teater Tari 'The Wouded Cuts' akan Dipentaskan di Rumah Banjarsari Solo
ARTJOG 2024 Hadirkan Maestro Tari Didik Nini Thowok dan Rianto, Tonton Penampilannya di Tanggal Ini